Dewasa ini internet merupakan hal yang lumrah dikalangan
masyarakat. Sebagian besar dari kita melalui WWW, E-mail, dan program
file-sharing. Aplikasi tersebut menyediakan layanan masyarakat untuk jaringan
yang mendasar, dan memungkinkan kita untuk mengirim dan menerima informasi
dengan relatif mudah. Biasanya aplikasi yang kita gunakan intuitif, artinya kita
dapat mengakses dan menggunakannya tanpa mengetahui bagaimana mereka bekerja.
Visualisasimekanisme yangmemungkinkan komunikasimelalui jaringanmenjadi lebih mudahjika kita
menggunakankerangkaberlapisdari SistemInterkoneksiModelTerbuka (OSI).
Kali ini saya akan menjelaskan bagian dari
OSI layer, yaitu bagian apkikasi :
Lapisan aplikasi merupakan lapisan
tertinggi pada model referensi ISO. Biasanya berupa program atau apliaksi pada
tingkat layanan informasi. Beragam protocol standar umumnya tersedia pada
lapisan ini.
Fungsiyang terkait denganprotokollapisan aplikasijaringanmemungkinkanmasyarakat
untuk layanan denganjaringandata
yang mendasarinya.Ketika kita membukaweb browserataujendela
pesaninstan,aplikasidimulai,dan program inidimasukkan ke dalammemori perangkatmana iadieksekusi.Setiap
programmelaksanakandimuatpada perangkatini disebut sebagaisebuah proses.
AplikasilapisanLayanan Program lainmungkin memerlukanbantuan darilayananlapisan
Aplikasiuntuk menggunakansumber
daya jaringan,sepertitransfer
file atauspoolingjaringancetak.Meskipuntransparan
kepada pengguna, layanan ini program yangantarmuka denganjaringan danmenyiapkan datauntuk transfer.Berbagai jenisdata -apakah
itu teks, grafik, atau video -membutuhkan
layananjaringan yang berbedauntuk
memastikanbahwa itubenar siapuntuk diprosesoleh fungsiyang terjadi padalapisan bawahdari modelOSI.
Benchmarking adalah
teknik manajemen untuk mengukur performa atau hasil kerja, dengan
membandingkannya dengan parameter atau ukuran terbaik yang dikenal di pasar dan
biasanya ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan pemimpin pasar.
Benchmarking akan
memaksa perusahaan untuk terus menerus memperbaiki diri dan pada suatu saat
dengan mempersatukan beberapa faktor atau business drivers menjadi
terbaik, tanpa terasa perusahaan akan mengalami kemajuan yang pesat dan berdaya
saing unggul dibandingkan dengan pesaing-pesaingnya.
pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba membandingkan
2 buah komputer dengan menggunakan software CPU-Z. CPU-Z adalah software untuk
mengetahui beberapa informasi penting mengenai komponen komponen utama dari PC
kita, sepeti Prosessor(CPU), Cache, mainboard, memori (RAM),dan SPD.
Software dengan ukuran kecil ini lumayan canggih dan akurat saat
mengenali prosessor yang kita pakai, seperti nama dan nomor, ukuran, kecepatan,
multiplier, clocks, dsb.
Pada tab mainboard, kita dapat melihat informasi mengenai VGA, BIOS, Chipset
dsb. sedangkan pada tab memory, ditampilkan informasi modul, frekuensi, nomor
seri, dan menurut saya ini sangat berguna sekali seumpama kalau kita mau
upgrade atau ganti memory.
Bagi yang hobi otak-atik PC, seneng ber eksperiment dan hobby overclocking,
pasti sudah pada tahu dengan ini software.
Berikut ini saya akan coba membandingkan 2 buah laptop menggunakan
software CPU-Z, tetapi hanya membandingkan bagian CPU dan Memory :
Laptop AXIOO
Pertama kita lihat bagian dari CPU
Processor : Name
= Intel Celeron T3000
Specification
= Celeron(R) Dual-Core CPU T3000 @ 1.80GHz
Clock : Core
Speed = 1799.7 MHz
Bus
Speed = 200.0 MHz
Rate
FSB = 799.9 MHz
Bagian
Dari Memory
General : Type
= DDR2
Size
= 1024 Mbytes
Channels
= Single
Timings DRAM
Frequency = 333.3 MHz
FSB:DRAM
= 6:10
CAS#Latency
(CL) = 5.0 Clocks
RAS#
to CAS# Delay (tRCD) = 5 Clocks
RAS#
Precharge (tRP) = 5 clocks
Cycle
Time (tRAS) = 15 Clocks
Dan selanjutnya adalah Laptop DELL
Bagian
dari CPU
Processor : Name
= Intel Pentium B940
Specification
= Intel(R) Pentium(R) CPU B940 @ 2.00GHz
Clock : Core
Speed = 798.4 MHz
Bus
Speed = 99.8 MHz
Bagian Memory
General : Type
= DDR3
Size
= 2048 Mbytes
Channels
= Single
Timings DRAM
Frequency = 665.3 MHz
FSB:DRAM
= 1:5
CAS#Latency
(CL) = 9.0 Clocks
RAS#
to CAS# Delay (tRCD) = 9 Clocks
RAS#
Precharge (tRP) = 9 clocks
Cycle
Time (tRAS) = 24 Clocks
Dari data yang kita peroleh diatas dapat
disimpulkan bahwa kecepatan processor dari laptop DELL itu lebih cepat dari
laptop AXIOO. Dan juga RAM yang digunakan pada Laptop AXIOO itu adalah DDR2,
Sedangkan laptop DELL itu menggunakan RAM DDR3.
Perusahaan di Indonesia pada umumnya tidak mau mengangkat
karyawan kontrak menjadi karyawan tetap. Karena kedudukan buruh yang sangat
lemah dan mudah dibuang setelah masa kontrak mereka habis. Banyak juga buruh
yang sudah bekerja bertahun-tahun di suatu perusahaan, tetapi status mereka
tetap buruh kontrak. Maka dari itu banyak buruh yang menolak akan sistem yang
diterapkan oleh pemerintah. Karena sistem itu tentu akan merugikan buruh
tersebut, baik kerugian berupa waktu maupun umur. Karena banyak perusahaan yang
hanya menginginkan tenaga kerja yang masih muda.
Data hasil riset yang dilakukan oelh Bank Dunia dan Organisasi
Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) menunjukkan bahwa
jumlah pekerja atau buruh berstatus tetap hanya tinggal 35% dari 33 juta buruh
formal di Indonesia. Padahal, lima tahun lalu jumlahnya mencapai 70 persen,
artinya sebanyak 65% adalah buruh dengan status outsourcing
dan buruh kontrak.
Latar
Belakang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Outsourcing di
Indonesia
Sistem kerja
kontrak (undang-undang mengenalnya dengan istilah Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu-PKWT) dan outsourcing merupakan perkembangan yang baru, dalam
arti sebelumnya tidak berkembang seperti sekarang ini. Beberapa tahun yang
lalu, buruh masih memiliki peluang besar untuk menjadi karyawan tetap di suatu
perusahaan. Tetapi sekarang ini, sangat sulit (jika bukan mustahil) untuk bisa
menjadi karyawan tetap. Sebagian besar telah digantikan dengan sistem kerja
kontrak dan outsourcing tersebut.
Data hasil riset
yang dilakukan oleh Bank Dunia dan Organisasi Buruh Internasional (International
Labor Organization/ILO) menunjukkan bahwa jumlah pekerja atau buruh
berstatus tetap hanya tinggal 35% dari 33 juta buruh formal di Indonesia.
Padahal, lima tahun lalu jumlahnya mencapai 70 persen, artinya sebanyak 65%
adalah buruh dengan status outsourcing dan buruh kontrak.
Berdasarkan
hasil penelitian oleh Akatiga-Pusat Analisis Sosial dan Federasi Serikat
Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung
(FES), Praktek PKWT dan outsourcing merupakan wujud dari kebijakan Pasar
Kerja Fleksibel yang dimintakan kepada pemerintah Indonesia oleh IMF (international
Monetary Fund),World Bank dan ILO (International Labour
Organisation) sebagai syarat pemberian bantuan untuk menangani krisis
ekonomi 1997. Kebijakan Pasar Kerja Fleksibel ini merupakan salah satu
konsep kunci dari kebijakan perbaikan iklim investasi yang juga
disyaratkan oleh IMF dan dicantumkan dalam Letter of Intent atau
nota kesepakatan ke-21 antara Indonesia dan IMF butir 37 dan 42.
Kesepakatan dengan IMF tersebut menjadi acuan dasar bagi
penyusunan rangkaian kebijakan dan peraturan perbaikan iklim
investasi dan fleksibilitas tenaga kerja.
Pengertian
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Outsourcing
Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk
pekerja tertentu. Istilah PKWT ini biasanya dikenal dengan istilah sistem kerja
kontrak dan pihak buruh disebut buruh kontrak. Sedangkan outsourcing
pada hakekatnya adalah sebuah sebuah upaya mengalihkan pekerjaan atau jasa
ke pihak ketiga. Undang-undang ketenagakerjaan sendiri tidak mengenal istilah outsourcing
ini.
Istilah outsourcing
dikenal dengan dua kategori istilah yaitu, yang pertama penyerahan sebagian
pekerjaan/pemborongan pekerjaan (outsourcing pekerjaan) dan yang kedua
adalah penyedia jasa tenaga kerja (outsourcing tenaga kerja atau agen
penyalur tenaga kerja/pekerja outsourcing). Outsourcing tenaga
kerja merupakan jenis outsourcing yang ramai dipersoalkan, digugat, dan
selalu ditolak oleh seluruh pekerja dan serikat pekerja[2]. Dalam
praktiknya, outsourcing biasanya menggunakan PKWT juga terkait
perjanjian kontraknya sehingga menjadi buruh outsoucing dengan status
kontrak (PKWT). Jadi, PKWT dan outsourcing adalah istilah yang berbeda
meskipun penerapannya bisa dilakukan secara bersamaan.
Ketentuan
umum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Outsourcing di Indonesia
Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Pasal 59
ayat (1) UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa PKWT
hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
pekerjaan yang sekali selesai
atau yang sementara sifatnya;
pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3
(tiga) tahun;
pekerjaan yang bersifat
musiman; atau
pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan.
Pada ayat
selanjutnya, disebutkan bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap. Selain itu, PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu
dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1
(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Perpanjangan harus
diberitahukan paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu
tertentu berakhir. Apabila tidak dilakukan perpanjangan (melewati jangka waktu
7 hari) tetapi perusahaan ingin mempekerjakan kembali, maka dapat dilakukan
pembaruan perjanjian dengan ketentuan diadakan setelah melebihi masa tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya PKWT yang lama dan pembaruan perjanjian
kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2
(dua) tahun.
Apabila PKWT
tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka demi hukum menjadi perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (PKWTT), yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.
Outsourcing
Pasal 64 UU
Nomor 13 tahun 2003 menyebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Pasal
ini merupakan dasar dari praktik outsourcing di Indonesia. Pasal 65 ayat
(2) menyebutkan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
dilakukan secara terpisah dari
kegiatan utama;
dilakukan dengan perintah
langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
merupakan kegiatan penunjang
perusahaan secara keseluruhan;
tidak menghambat proses
produksi secara langsung.
Dalam pasal
66 ayat (1) disebutkan bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan
pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali
untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi.
Dalam
penjelasan pasal 66, disebutkan yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan
yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.
Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning
service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering,
usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa
penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan
pekerja/buruh.
Permasalahan
praktik PKWT dan Outsourcing di Indonesia
Permasalahan
praktik sistem kerja kontrak dan outsourcing di Indonesia tentunya
berbeda-beda antarperusahaan. Ada perusahaan yang menjalankan sesuai dengan
ketentuan dan ada pula yang mencoba mengakali (melanggar) untuk meningkatkan
keuntungan. Secara umum, permasalahan terjadi karena perusahaan berusaha untuk
membuat/mempertahankan status buruh menjadi kontrak (PKWT) dan outsourcing
dengan memanfaatkan kelemahan undang-undang, sementara buruh berusaha untuk menjadi
buruh tetap (PKWTT) dan melihat usaha perusahaan sebagai pelanggaran ketentuan
undang-undang. Alasan perusahaan berusaha menghindari status hubungan kerja
tetap antara lain adalah agar:
Perusahaan dapat lebih mudah
menghentikan karyawan yang dianggap tidak produktif;
Perusahaan tidak perlu membayar
biaya pesangon ketika menghentikan karyawan;
Perusahaan dapat lebih efisien
mengelola karyawannya karena tidak perlu mengurusi berbagai tunjangan
karyawan seperti tunjangan kesehatan, THR, dll.
Ditengah gejolak ekonomi &
politik yang tidak stabil, sangat mudah dan murah jika sewaktu-waktu
perlu diperlukan perampingan karyawan.
Beberapa
permasalahan biasanya yang terjadi dimana buruh menuding perusahaan telah
melanggar ketentuan adalah sebagai berikut:
Jenis
pekerjaan tertentu yang bisa menggunakan sistem kerja kontrak (PKWT)
Jenis
pekerjaan yang bisa menggunakan PKWT sesuai ketentuan adalah pekerjaan yang
sekali selesai, yang bersifat sementara, atau musiman. Contoh pekerjaan ini
adalah proyek konstruksi dimana pekerjaan berakhir setelah proyek jadi. Dalam
prakteknya, banyak perusahaan yang menggunakan PKWT juga untuk pekerjaan yang
bersifat rutin/tetap.
Perpanjangan
jangka waktu PKWT
Ketentuan
menyebutkan bahwa jangka waktu PKWT paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Atau
dapat juga dilakukan pembaharuan kontrak 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua)
tahun. Dalam prakteknya, perusahaan melakukan perpanjangan masa kontrak lebih
dari dua kali dan bahkan belasan kali tetapi status karyawan tetap PKWT. Selain
itu, perusahaan juga memanfaatkan ketentuan jeda waktu 30 (tiga puluh) hari
untuk bisa melakukan pembaharuan kontrak sehingga masa kerja karyawan dimulai
kembali dari nol (tidak memperhitungkan masa kerja kontrak sebelumnya). Hal-hal
ini menjadi sebab terdapat karyawan yang telah bertahun-tahun bekerja di suatu
perusahaan tetapi tetap berstatus kontrak.
Perbedaan
persepsi inti (core) bukan inti (non core) dalam ketentuan outsourcing
Sesuai
dengan ketentuan, outsourcing hanya dilakukan untuk pekerjaan kegiatan
jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi (non core bussiness). Dalam praktiknya, banyak perusahaan yang
melakukan outsourcing juga terkait pekerjaan inti (core business) untuk
melakukan efisiensi. Misalnya pekerjaan Teller di bank merupakan
kegiatan pokok di bank, tetapi bank mempekerjakan pekerja outsourcing di
sana. Bahkan di pabrik-pabrik 70% sampai 90% proses produksi menggunakan tenaga
kerja outsourcing.
Terkait
penjelasan undang-undang tentang jenis pekerjaan penunjang (non core
business), terdapat perbedaan penafsiran kata “antara lain” dimana
perusahaan melihatnya bahwa jenis pekerjaan di luar yang disebutkan dalam undang-undang
dapatjuga dilakukan secara outsourcing, sementara pihak
buruh (serikat buruh) menafsirkan bahwa hanya jenis pekerjaan yang
disebutkan dalam undang-undanglah yang bisa menggunakan outsourcing.
Terhadap
berbagai pelanggaran terhadap peraturan hubungan kerja kontrak dan outsourcing
tenaga kerja, Disnakertrans secara umum bersikap longgar karena
Disnakertrans berpendapat a) hampir semua perusahaan melakukan
pelanggaran; b) jika bersikap terlalu tegas perusahaan akan lari dan c)
tidak ada basis legal untuk menjalankan sanksi yang tegas.
Dampak
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Outsourcing
Berjalannya
sistem kerja kontrak dan outsourcing tentunya bukan karena tanpa alasan.
Sebagaimana disebutkan di bagian latar belakang, praktik sistem kerja kontrak
dan outsourcing dimulai dengan adanya kebijakan perbaikan iklim
investasi. Tujuan awalnya adalah memperbaiki daya saing perusahaan yang tengah
dilanda krisis dengan mengurangi cost terkait tenaga kerja.
Dari tujuan
awal tersebut, dapat diperkirakan bahwa kebijakan sistem kerja kontrak dan outsourcing
akan lebih menguntungkan pihak perusahaan karena itulah tujuan awalnya.
Meskipun kemudian muncul pendapat bahwa outsourcing juga diperlukan
untuk melindungi buruh dengan menciptakan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu,
dampak positif bagi perusahaan adalah penurunan biaya, meningkatnya kemampuan
bersaing, dan meningkatnya keuntungan perusahaan. Sedangkan dampak bagi buruh
sebagian besar (jika tidak seluruhnya) negatif adalah sebagai berikut:
Tidak ada
kepastian pekerjaan
Sesuai
dengan jenisnya, PKWT (termasuk PKWT yang berada dalam sistem outsourcing)
merupakan pekerjaan sementara sehingga buruh hanya dipekerjakan untuk jangka
waktu tertentu saja. Keterbatasan jangka waktu ini menjadi kekhawatiran dan
ketidakpastian bagi buruh karena buruh dapat sewaktu-waktu diberhentikan dan
harus kembali mencari pekerjaan. Terlebih ketika mencari pekerjaan semakin
sulit, usia yang semakin kurang kompetitif, dan tidak adanya pesangon dari
perusahaan.
Kesejahteraan
dan perlindungan kerja kurang
Umumnya,
ketentuan mengenai upah dan kesejahteraan untuk buruh kontrak (PKWT) adalah
sesuai dengan kontrak yang dibuat, dimana pembuatan kontrak dilakukan dengan
posisi buruh yang lebih lemah dibandingkan perusahaan. Oleh karena itu, umumnya
upah/tunjangan yang diterima oleh buruh kontrak lebih rendah dari buruh tetap
dan buruh outsourcing lebih rendah dari buruh kontrak. Selain itu,
perusahaan juga banyak yang tidak mengikutsertakan karyawan kontrak dan outsourcing-nya
dalam program perlindungan sosial (jamsostek).
Tidak
mendapat kompensasi bila di-PHK
Buruh
kontrak tidak berhak mendapatkan kompensasi jika masa kerja telah berakhir atau
mengalami PHK (sebelum masa kontrak habis) kecuali ada perjanjiannya. Hal ini
berbeda dengan buruh tetap yang berhak mendapat kompensasi (uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak) saat di PHK[4]. Hal
ini menjadi permasalahan karena walaupun masa kerja antara buruh kontak dan
buruh tetap sama, hak yang diperoleh akibat pemberhentian tersebut berbeda.
Terhambat
untuk berserikat
Buruh
kontrak dan outsourcing umumnya jarang menjadi anggota serikat buruh
karena kekhawatiran kehilangan pekerjaan (karena berstatus outsourcing,
takut di PHK, takut tidak diperpanjang kontrak, dilarang perusahaan). Selain
itu, hubungan buruh outsourcing adalah dengan perusahaan penyalur dan
bukan dengan perusahaan pengguna, sementara serikat buruh basisnya adalah
perusahaan dengan siapa buruh membuat perjanjian. Oleh karena itu, apabila
buruh buruh outsourcing ingin berserikat, maka yang bersangkutan harus
mendirikan/menjadi anggota serikat di perusahaan penyalur[2].
Banyaknya
biaya dan potongan penghasilan oleh perusahaan outsourcing
Perusahaan outsourcing
juga mencari keuntungan dengan perannya sebagai penyalur buruh ke perusahaan.
Hal ini biasanya dilakukan dengan adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh
buruh yang ingin disalurkan dan adanya potongan-potongan penghasilan sehingga
penghasilan yang diperoleh buruh outsourcing menjadi semakin rendah.
Terjadi
stratifikasi sosial di perusahaan
Dengan
pemberlakuan PKWT dan outsourcing, di perusahaan akan terdapat 3
(tiga) kelompok buruh yakni buruh tetap, buruh kontrak dan buruh outsourcing.
Pengelompokan ini pada umumnya ditandai dengan perbedaan warna seragam yang
dikenakan dan membawa efek stratifikasi dan jarak sosial di antara buruh tetap,
kontrak dan outsourcing yang berimplikasi terhadap solidaritas dan
kesadaran bersama sebagai buruh.
Terjadi
diskriminasi usia dan status perkawinan
Perusahaan
cenderung mempekerjakan buruh berusia muda dan untuk perekrutan buruh outsourcing
baru mensyaratkan buruh yang berusia 18-24 tahun dan berstatus lajang dengan
alasan produktivitas. Memilih buruh berstatus lajang membawa efek semakin
sulitnya buruh yang sudah berkeluarga untuk memperoleh pekerjaan
dan berpenghasilan.
Mematikan
karir buruh
Buruh
kontrak dan outsourcing memiliki masa kerja kontrak yang terbatas dan
sering berpindah-pindah sehingga masa kerja pun seringkali dimulai lagi dari
nol. Hal ini membuat peluang karyawan untuk meningkatkan status dan karir
sangat sulit.
Secara umum,
praktek hubungan kerja kontrak dan outsourcing cenderung eksploitatifkarena dengan kewajiban pekerjaan yang sama, jam kerja yang sama, dan di
tempat yang sama dengan buruh tetap, buruh kontrak dan outsourcing memperoleh
hak yang berbeda dan sebagian buruh harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan
pekerjaan atau untuk mempertahankan pekerjaannya.
Preferensi
pengusaha untuk hanya mempekerjakan buruh berusia 18-24 tahun dan berstatus
lajang juga merupakan pelanggaran terhadap konvensi ILO mengenai Anti
Diskriminasi karena menutup kesamaan kesempatan bagi buruh dalam kelompok usia
produktif dan buruh menikah yang harus menghidupi keluarganya. Sedangkan
melarang buruh kontrak dan outsourcing untuk berserikat baik secara
langsung maupun tidak langsung, merupakan bentuk pelanggaran terhadap
konvensi ILO no.98 mengenai kebebasan berserikat.